Sebagai negara
kepulauan dengan jumlah pulau mencapai 17,504 buah dan panjang pantai yang
mencapai 81,000 km, Indonesia memiliki peluang dan potensi budidaya komoditi
laut yang sangat besar untuk dikembangkan. Luas potensi budidaya laut
diperkirakan mencapai 26 juta ha, dan kurang lebih dua juta ha diantaranya
sangat potensial untuk pengembangan rumput laut dengan potensi produksi rumput
laut kering rata-rata 16 ton per Ha. Berdasarkan data DKP (Departemen Kelautan
dan Perikanan) RI tahun 2008, apabila seluruh lahan dapat dimanfaatkan maka
akan diperoleh kurang lebih 32 juta ton per tahun. Apabila harga rumput laut
sebesar Rp 4.5 juta per ton, maka penerimaan yang diperoleh berkisar Rp 144
triliun per tahun. Potensi rumput laut Indonesia dapat menjadi salah satu
sumber pemasukan bagi devisa negara, dan juga mampu menjadikan Indonesia
sebagai negara pengekspor rumput laut kering terbesar dunia.
Saat ini
terdapat sekitar 782 jenis rumput laut yang hidup di perairan Indonesia. Jumlah
tersebut terdiri dari 196 algae hijau, 134 algae coklat, dan 452 algae
merah. Sebagai penyedia bahan baku industri, rumput laut memiliki turunan
yang sangat beragam seperti untuk bahan makanan (dodol, minuman, kembang gula,
dan lain-lain), kosmetik, dan juga untuk bahan obat-obatan. Jenis yang banyak
dikembangkan dan banyak diminati pasar adalah jenis Euchema spinosum, Euchema
cottonii dan Gracilaria sp.
Rumput laut
menjadi salah satu komoditas unggulan dalam program revitalisasi perikanan
disamping udang dan tuna. Ada beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan dan
juga keunggulannya, diantaranya : peluang pasar ekspor yang terbuka luas, harga
relatif stabil, juga belum ada batasan atau kuota perdagangan bagi rumput laut;
teknologi pembudidayaannya sederhana, sehingga mudah dikuasai; siklus
pembudidayaannya relatif singkat, sehingga cepat memberikan keuntungan;
kebutuhan modal relatif kecil; merupakan komoditas yang tidak tergantikan,
karena tidak ada produk sintetisnya; usaha pembudidayaan rumput laut tergolong
usaha yang padat karya, sehingga mampu menyerap tenaga kerja.
Permintaan rumput laut meningkat
sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan industri berbasis
rumput laut, serta kecenderungan masyarakat dunia untuk kembali kepada
produk-produk hasil alam. Diperkirakan, dalam kurun waktu lima tahun kedepan
kebutuhan produk olahan rumput laut terus meningkat. Berdasarkan kecenderungan
ekspor dan impor produk olahan rumput laut selama periode 1999-2004.
Anggadiredja et. al (2006) memperkirakan pasar dunia produk olahan rumput laut
meningkat sekitar 10 persen setiap tahun untuk karaginan semirefine (SRC),
agar, dan alginat untuk industri (industrial grade). Adapun alginat
untuk makanan (food grade) meningkat sebesar 7.5 persen dan karaginan refine
sebesar lima persen.
Selain itu, Anggadiredja et. al
(2006) juga mengestimasi kebutuhan bahan baku rumput laut penghasil karaginan
pada tahun 2010 sebesar 322.500 ton yang terdiri dari Euchema sp.
sebesar 274.100 ton dan jenis selain Eucheuma sp. sebesar 48.400 ton.
Asumsi yang digunakan untuk mengestimasi kebutuhan pasar tersebut adalah 25
persen karaginan diekstrak dari bahan baku Eucheuma sp dalam skala
industri dan 15 persen dari kebutuhan bahan baku karaginan diperoleh dari jenis
rumput laut selain Eucheuma sp. Selain itu, asumsi yang digunakan juga
berdasarkan perkiraan kebutuhan pasar dunia produk olahan rumput laut,
khususnya karaginan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pasar rumput laut dunia
masih sangat besar, baik untuk pasar bahan baku mentah (raw seaweeds)
ataupun untuk produk olahannya. Indonesia dengan potensi besar seharusnya dapat
memanfaatkan peluang tersebut untuk peningkatan penerimaan dan devisa negara
yang lebih besar.
Peningkatan permintaan rumput laut
dunia juga dapat dilihat dari peningkatan volume impor yang dilakukan oleh
negara-negara importir. Jepang merupakan negara importir terbesar rumput laut
dunia, diikuti oleh China pada posisi ke-dua, dan United States of America
(USA) pada posisi ke-tiga. Selama kurun waktu 1999 hingga 2006, ketiga negara
tersebut mengimpor 55.66 persen dari seluruh impor dunia, sesuai dengan data
yang diperoleh dari FAO (Food and Agriculture Organization). Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa ketiga negara tersebut memiliki posisi penting bagi
setiap eksportir dunia. Apabila suatu negara memiliki pangsa pasar yang baik di
negara importir utama, maka dapat dikatakan
bahwa negara tersebut memiliki daya
saing di pasar internasional rumput laut. Selengkapnya data importir terbesar
dunia dapat dilihat pada Lampiran 1.
Seiring dengan peningkatan permintaan
dunia yang semakin besar, produksi rumput laut dunia juga mengalami peningkatan
yang cukup baik setiap tahunnya. Beberapa negara produsen mulai bersaing untuk
dapat memproduksi rumput laut dengan kuantitas yang besar dan kualitas terbaik
pula. Berdasarkan data tahun 1999 hingga 2007 yang diperoleh dari FAO (Food
and Agriculture Organization), China memproduksi rata-rata 58.14 persen
produksi rumput laut dunia, sekaligus menjadikan China sebagai produsen utama
rumput laut dunia. Kemudian diikuti oleh Philippina dengan rata-rata produksi
10.57 persen. Indonesia berada pada posisi ketiga dengan rata-rata produksi
5.43 persen dibandingkan dengan produksi rumput laut dunia. Data selengkapnya
dapat dilihat pada Lampiran 2 yang disusun berdasarkan volume produksi
dalam satuan ton.
Pada Lampiran 2 dapat diperhatikan
bahwa produksi rumput laut Indonesia pada tahun 2006 telah mencapai 1,174,996
ton, dan meningkat menjadi 1,733,705 ton pada tahun 2007. Peningkatan produksi
tersebut memberikan kontribusi yang besar dalam perbaikan posisi Indonesia
dalam perdagangan internasional rumput laut. Hal ini juga menjadi salah satu
indikator adanya perbaikan pola produksi rumput laut dalam negeri melalui
program revitalisasi perikanan yang dicanangkan oleh pemerintah. Pemerintah
juga menargetkan pencapaian 1,900,000 ton produksi rumput laut pada tahun 2009
yang akan ditempuh dengan pola pengembangan kawasan dengan komoditas Euchema
sp. dan Gracilaria sp. Luas lahan pengembangan yang diperlukan
sampai tahun 2009 adalah sekitar 25,000 ha, yakni 10,000 ha untuk Gracilaria
sp. dan 15,000 ha untuk Euchema sp. Sejak tahun 2002 hingga tahun
2007, produksi rata-rata rumput laut Indonesia mengalami peningkatan 27.97
persen. Melihat potensi ini, Indonesia melalui DKP mempunyai misi untuk
menjadikan Indonesia sebagai produsen terbesar (utama) rumput laut dunia mulai
tahun 2009.
Pada sisi ekspor, Indonesia menjadi
eksportir kedua terbesar setelah China apabila diurutkan berdasarkan volume
ekspor tahun 1999-2007, sesuai dengan data yang diperoleh dari FAO. Akan tetapi
sebagian besar ekspor rumput laut Indonesia dalam bentuk gelondongan kering (raw
seaweeds), sedangkan bentuk
produk olahan seperti agar-agar,
karaginan dan alinate masih harus diimpor. Sehingga nilai tambah dari
pengolahan rumput laut tidak diperoleh, melainkan menjadi perolehan yang cukup
besar bagi negara tujuan ekspor rumput laut kering tersebut. Kondisi tersebut
sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu bersaing dalam industri
pengolahan rumput laut. Selengkapnya data volume ekspor dan impor dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan Ekspor-Impor
Rumput Laut Indonesia (dalam ton)
Tahun
|
Ekspor
(X)
|
%
Δ
|
Impor
(M)
|
%
Δ
|
Rasio
M/X (%)
|
1999
|
25,084
|
-
|
258
|
-
|
1.03
|
2000
|
23,074
|
-8.01
|
216
|
-16.28
|
0.94
|
2001
|
27,874
|
20.80
|
246
|
13.89
|
0.88
|
2002
|
28,559
|
2.46
|
383
|
55.69
|
1.34
|
2003
|
40,162
|
40.63
|
339
|
-11.49
|
0.84
|
2004
|
51,010
|
27.01
|
497
|
46.61
|
0.97
|
2005
|
69,226
|
35.71
|
279
|
-43.86
|
0.40
|
2006
|
95,588
|
38.08
|
323
|
15.77
|
0.34
|
Sumber : FAO, 2008
Δ =
Perubahan dengan tahun sebelumnya (dalam persen)
Pada
Tabel 1 di atas diketahui bahwa dalam kurun waktu 1999 hingga 2006,
ekspor Indonesia cenderung meningkat dengan rata-rata peningkatan 22.38 persen
per tahun, walau pada tahun 2000 sempat mengalami penurunan ekspor sebesar
2,010 ton. Perkembangan volume ekspor rumput laut yang demikian tinggi
mencerminkan adanya peluang dan demand yang semakin besar di pasar
internasional terhadap rumput laut Indonesia. Kondisi ini seharusnya dapat
menunjukkan bahwa Indonesia memiliki daya saing yang semakin kompetitif di
pasar internasional.
Indonesia
masih belum berkembang pada industri pengolahan rumput laut. Oleh karena itu,
impor umumnya dilakukan dalam bentuk olahan rumput laut, dan ada juga impor
untuk jenis rumput laut yang tidak ditemukan di perairan. Volume impor rumput
laut mengalami fluktuatif dan cenderung mengalami penurunan volume. Apabila
dibandingkan dengan volume ekspor, rasio impor terhadap ekspor relatif menurun,
artinya dalam perkembangannya impor tidak terlalu berpengaruh besar terhadap
ekspor Indonesia. Hal tersebut juga dapat
menunjukkan
Indonesia sudah mulai memenuhi permintaan dalam negeri dalam bentuk olahan
rumput laut.
Indonesia
dengan potensi perikanan yang sangat besar khususnya untuk komoditas rumput
laut berpeluang menjadi salah satu yang terbesar sebagai produsen rumput laut,
akan tetapi Indonesia juga harus mempunyai kemampuan dalam bersaing baik dari
segi harga, kualitas, dan juga kebijakan-kebijakan perdagangan, dan kemampuan
dalam manajemen produksi rumput laut nasional. Dari argumentasi tersebut, dapat
dilihat bahwa kebutuhan untuk meningkatkan bisnis rumput laut masih sangat
terbuka dan potensial, selain dari produksi nasional yang semakin baik juga
permintaan yang semakin besar.
Globalisasi
ekonomi memberikan pengaruh dan tantangan yang semakin besar terhadap pertanian
atau agribisnis di seluruh dunia. Dewasa ini, agribisnis tidak hanya
membutuhkan kemampuan untuk dapat bersaing di pasar lokal, tetapi juga harus
mampu berkompetisi di pasar luar, juga memerlukan pengembangan strategi baru
untuk dapat mempengaruhi konsumen baru di pasar yan baru pula. Informasi dan
pengetahuan mengenai kemampuan bersaing atau daya saing, serta keunggulan
komparatif juga semakin diperlukan, baik oleh manager agribisnis, perencana
strategi (strategic planners), pemerintah, pembuat keputusan, dan
sebagainya. Informasi tersebut juga mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi
masyarakat serta bisnis atau usahanya dalam agribisnis. Pada sisi perusahan,
juga sangat perlu dan harus memperhatikan hal tersebut. Oleh karena itu,
sangatlah diperlukan suatu kajian ataupun penelitian yang dapat membantu untuk
mengetahui posisi daya saing suatu komoditi ekspor, termasuk juga rumput laut
di pasar internasional.
Perdagangan
internasional mengharuskan setiap negara memiliki spesialisasi dan juga
kemampuan untuk dapat bersaing memperebutkan pasar yang ada. Penguasaan pasar
oleh suatu negara dapat menjadi suatu ukuran kemampuan bersaing suatu negara
untuk komoditi tertentu. Berdasarkan data-data dan informasi yang telah
dipaparkan, sangatlah diperlukan sebuah penelitian mengenai besar penguasaan
pasar yang dimiliki oleh Indonesia di negara tujuan ekspor. Penguasaan pangsa
pasar akan menentukan posisi daya saing ekspor rumput laut Indonesia di pasar
internasional. Oleh karena itu, suatu negara akan
sangat
memerlukan suatu informasi yang dapat menunjukkan posisi daya saing suatu
komoditas ekspor tertentu, dan juga dapat mengetahui faktor-faktor apa yang
mungkin mempengaruhinya. Untuk itulah penelitian ini disusun supaya dapat
menjadi informasi yang penting bagi input penyusunan kebijakan dalam industri
rumput laut Indonesia.
Post Terkait
0 komentar:
Posting Komentar