Sabtu, 30 Maret 2013

Pemanfaatan Rumput Laut Menjadi Cendol

Di Indonesia, rumput laut secara luas dimanfaatkan dalam industri kembang gula, kosmetik, es krim, media cita rasa, roti, saus, sutera, pengalengan ikan dan daging, obat-obatan dan lainnya (Winarno, 1990). Komposisi utama rumput laut yang dapat digunakan sebagai bahan pangan adalah karbohidrat, abu, serat pangan, dan sebagian kecil lemak dan protein. Hasil penelitian Chaidir (2007) menunjukkan kadar karbohidrat pada rumput laut Euchema cotonii yang direndam dalam air tawar selama 9 jam adalah 75,36% bk, abu 18% bk, lemak 3,39% bk, protein 0,43% bk dan serat pangan total 9,62% bb. Serat pangan (dietary fiber) adalah suatau karbohidrat kompleks di dalam bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan manusia. Dietary fiber merupakan komponen dari jaringan tanaman tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil. Serat tersebut banyak berasal dari dinding sel sayuran dan buah-buahan. Secara kimia dinding sel tersebut tersusun dari beberapa karbohidrat, seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, dan nonkarbohidrat seperti polimer lignin, beberapa gumi, dan mucilage (Astawan et al., 2004).

Tabel 1. Produksi Rumput Laut di Indonesia Tahun 1999-2004
Tahun
Volume (ton)
2000
133.720
2001
212.478
2002
223.080
2003
231.927
2004
397.967
Sumber : Biro Pusat Statistik, 2005.

Serat pangan (dietary fiber) memiliki efek fungsional yang menguntungkan bagi kesehatan manusia, diantaranya dapat menurunkan kolesterol darah, memperbaiki fungsi-fungsi pencernaan, dan mencegah berbagai penyakit degenerative (Astawan et al., 2004). Selain serat, rumput laut juga mengandung iodium yang merupakan elemen penting dalam pencegahan penyakit gondok. Di Jepang, satu dari satu juta penduduk yang terkena penyakit gondok, sedangkan di Indonesia sebanyak 12 juta dari 160 juta penduduk yang terserang penyakit gondok (8%). Jarangnya kasus gondok di Jepang mungkin disebabkan oleh kegemaran masyarakat Jepang mengkonsumsi rumput laut, terutama kombu (Laminaria aparuca) dan L. religosa. Penelitian Hunninghake et al., (1994), pasien yang menderita hiperkolesterolemia setelah diberi serat sebanyak 20 gram/hari, total kolesterol, LDL, serta rasio LDL-HDL plasmanya menunjukkan penurunan masing-masing 6%, 8%, dan 8%. Komponen LDL merupakan kolesterol yang berpotensi menimbulkan penyakit jantung koroner. Serat pangan (dietary fiber) memberikan efek fisiologis dan metabolis karena sifatnya mampu larut dalam air, kemampuan mengikat air (water holding capacity), viskositas, kemampuan mengikat molekul organik dan inorganik, dan daya cerna atau daya fermentasinya oleh bakteri (Groff dan Gropper, 1999). Karena sifat-sifat tersebut serat pangan dapat memperlambat penurunan makanan dalam pencernaan, mengurangi pencampuran nutrisi makanan dengan enzim pencernaan dan
menurunkan aktifitas enzim dalam mencerna makanan. Dietary fiber seringkali identik dengan produk sayuran yang segar. Manfaat serat dapat diperoleh juga melalui produk olahan yang mengandung bahan dasar rumput laut. Dalam produk makanan, rumput laut seringkali digunakan sebagai alternatif bahan yang menguntungkan dan dapat meningkatkan nilai gizi. Penelitian Astawan et al., (2004) menunjukkan bahwa penambahan 30% rumput laut pada kue putu ayu, 30% pada kue centik manis, 30% pada kue lumpur, dan 40% pada kue donat masih dapat diterima oleh panelis, baik dari rasa, tekstur, warna, dan aroma. Selain serat, kandungan iodium dalam rumput laut terbukti dapat meningkatkan jumlah sel neuron otak kiri anak sehingga dapat meningkatkan kemampuan belajar (kecerdasan). Selain dalam bentuk makanan, serat pangan banyak dijumpai juga dalam bentuk cair (minuman) yang banyak dijual dalam berbagai merk dengan sumber serat yang bermacam-macam. Chaidir (2007) telah melakukan penelitian terhadap minuman berserat dengan sumber serat berasal dari rumput laut. Penambahan tepung rumput laut Euchema cotonii 48,7% dalam bahan minuman berserat, dapat meningkatkan kadar serat pangan (total dietary fiber) menjadi 41,8% yang terdiri dari serat pangan larut 36,1% dan serat pangan tidak larut 5,7%, yang berarti bahwa setiap gram minuman serat mengandung 0,42 gram serat pangan total.

Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi serat memacu industri makanan dan minuman untuk melakukan diversifikasi produk dengan produk intinya berupa serat pangan (dietary fiber) dalam bentuk instan. Produk instan merupakan tuntutan konsumen masa kini yang dituntut serba cepat dan tidak merepotkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk diversifikasi produk minuman berserat adalah melalui produk cendol instant. Cendol rumput laut merupakan minuman yang disajikan dengan komposisi tertentu rumput laut sebagai sumber serat (dietary fiber) dilengkapi cairan pati dan gula merah. Cendol yang ada saat ini umumnya berbahan dasar dari tepung beras, tepung hunkwee, atau tepung sagu. Produk ini hampir selalu ada di seluruh Wilayah Indonesia, bahkan di Malaysia karena rasanya yang enak dan teksturnya yang lembut sehingga disukai oleh berbagai lapisan masyarakat. Penambahan rumput laut sebagai sumber serat diharapkan akan mampu meningkatkan nilai jual cendol yang dikenal masyarakat dari sisi cita rasa dan pada kandungan seratnya sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber serat pangan (dietary fiber) alternative.

Selengkapnya..

Teknik Budidaya Rumput Laut

Seiring kebutuhan rumput laut yang semakin meningkat, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri, sekaligus memperbesar devisa negara dari sektor non-migas, maka cara terbaik untuk tidak selalu menggantungkan persediaan dari alam adalah dengan melakukan budidaya rumput laut. Hingga saat ini, produksi rumput laut sangat besar didukung oleh budidaya. Berdasarkan data DKP, 99.73 persen produksi Indonesia adalah dari hasil budidaya. Hal tersebut dapat terjadi karena potensi alam Indonesia yang sangat mendukung dan hampir dapat dilakukan di seluruh wilayah Indonesia.

Secara umum, budidaya rumput laut Indonesia masih dilakukan dengan sederhana. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam budidaya rumput laut, yang juga dapat menentukan keberhasilan budidaya itu sendiri. Faktor-faktor tersebut adalah :

1. Pemilihan lokasi yang memenuhi persyaratan bagi jenis rumput laut yang akan dibudidayakan. Hal ini perlu dilakukan karena ada perlakukan yang berbeda untuk tiap jenis rumput laut

2. Pemilihan atau seleksi bibit yang baik, penyediaan bibit dan cara pembibitan yang tepat.

3. Metode budidaya yang tepat

4. Pemeliharaan tanaman

5. Metode panen dan perlakuan pasca panen yang benar

6. Pembinaan dan pendampingan secara kontinyu kepada petani.

Budidaya rumput laut dewasa ini semakin digalakkan, baik secara intensif maupun ekstensif dengan memanfaatkan lahan yang ada. Kini, budidaya rumput laut tidak hanya dilakukan di perairan pantai (laut) tetapi juga sudah mulai digalakkan pengembangannya di perairan payau (tambak).
Budidaya rumput laut di perairan pantai amat cocok diterapkan pada daerah yang memiliki lahan tanah sedikit (sempit) serta berpenduduk padat, sehingga diharapkan pembukaan lahan budidaya rumput laut diperairan dapat menjadi salah satu alternatif untuk membantu mengatasi lapangan kerja yang semakin kecil. Menurut Indriani dan Suminarsih (1999), terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk budidaya rumput laut di perairan pantai, yaitu :



1. Pemilihan Lokasi

Beberapa persyaratan yang diperhatikan terkait dengan lokasi yakni : perairan cukup tenang, terlindung dari pengaruh angin dan ombak; tersedianya sediaan rumput alami setempat (indikator); juga dengan kedalaman yang tidak boleh kurang dari dua kaki (sekitar 60 cm) pada saat surut terendah dan tidak boleh lebih dari tujuh kaki (sekitar 210 cm) pada saat pasang tertinggi. Selain itu juga harus didukung dasar perairan (tipe dan sifat substratum) yang digunakan. Faktor lain yang juga perlu diperhatikan adalah kualitas air, akses tenaga kerja, perizinan, dan sebagainya.

2. Melakukan uji penanaman

Setelah menemukan lokasi yang secara umum sudah baik, perlu dilakukan uji penanaman untuk mengetahui apakah daerah tersebut memberikan pertumbuhan yang baik atau tidak. Pengujian dilakukan dengan metode tali dan metode jaring. Pada metode tali digunakan tali monofilament atau polyethilene yang diikatkan pada dua tiang pancang yang dipasang dengan jarak sekitar 12 meter. Sedangkan pada metode jaring dapat menggunakan jaring monofilament atau polyethilene dengan ukuran 5 x 2.5 m yang diikatkan pada tiang pancang.
                        3. Menyiapkan areal budidaya

Setelah lokasi sudah dipastikan cukup baik, maka dilakukan persiapan lahan sebagai berikut :

a. Bersihkan dasar perairan lokasi budidaya dari rumput-rumput laut liar dan tanaman pengganggu lain yang biasa tumbuh subur.

b. Bersihkan calon lokasi dari karang, batu, bintang laut, bulu babi, maupun hewan predator lainnya.

c. Menyiapkan tempat penampungan benih (seed bin), bisa terbuat dari kerangka besi dan berjaring kawat atau dari rotan, bambu, ukurannya bervariasi 2 x 2 x 1.5 meter atau 2 x 2 x 1.5 – 1.7 meter.

4. Memilih metode budidaya yang akan digunakan

Membudidayakan rumput laut di lapangan (field culture) dapat dilakukan dengan tiga macam metode berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan, yakni metode dasar, metode lepas dasar, dan metode apung.



a. Metode dasar (bottom method)

Metode dasar adalah metode pembudidayaan rumput laut menggunakan benih bibit tertentu, yang telah diikat, kemudian ditebarkan ke dasar perairan, atau sebelum ditebarkan benih di ikat dengan batu karang. Metode ini juga terbagi atas dua yaitu : metode sebaran (broadcast) dan juga metode budidaya dasar laut (bottom farm method).

b. Metode lepas dasar (Off-bottom method)

Metode ini dilakukan dengan mengikatkan benih rumput laut (yang diikat dengan tali rafia) pada rentangan tali nilon atau jaring di atas dasar perairan dengan menggunakan pancang-pancang kayu. Metode ini terbagi atas : metode tunggal lepas dasar (Off-bottom monoline method), metode jaring lepas dasar (Off-bottom-net method), dan metode jaring lepas dasar berbentuk tabung (Off-bottom-tabular-net method).

c. Metode apung (floating method)

Metode ini merupakan rekayasa bentuk dari metode lepas dasar. Pada metode ini tidak lagi digunakan kayu pancang, tetapi diganti dengan pelampung. Metode ini terbagi menjadi : metode tali tunggal apung (Floating-monoline method), dan metode jaring apung (Floating net method).

5. Penyediaan bibit

Setelah dipilih metode budidaya yang akan dilakukan, langkah selanjutnya adalah penyediaan bibit. Bibit dikumpulkan dari pembibitan langsung, dilakukan dengan beberapa metode pengumpulan benih, yaitu :

a. Metode penyebaran secara spontan

Potongan-potongan (fragmen tetrasporotphyte) diletakkan pada jaring-jaring benih (seed nets) dan dapat pula diletakkan pada potongan-potongan batu di dalam tangki pengumpul yang telah diisi air laut. Setelah itu dibiarkan hingga tetraspora menyebar secara spontan.
b. Metode kering

Tetrasporotphyte dikeringkan dibawah sinar matahari selama tiga jam, kemudian ditempatkan dalam tangki seperti motode a di atas. Prosedur berikutnya sama dengan metode a.



c. Metode kejutan osmotic

Tetrasporotphyte direndam dalam air laut berkonsentrasi 1,030 g/cm3 selama 25 menit, kemudian direndam ke dalam air laut berkonsentrasi normal sambil diaduk dan akhirnya suspensi spora dapat diperoleh.

6. Penanaman bibit

Bibit yang akan ditanam adalah thallus yang masih muda dan berasal dari ujung thallus tersebut. Saat yang baik untuk penebaran maupun penanaman benih adalah pada saat cuaca teduh (tidak mendung) dan yang paling baik adalah pagi hari atau sore hari menjelang malam.

7. Perawatan selama pemeliharaan

Seminggu setelah penanaman, bibit yang ditanam harus diperiksa dan dipelihara dengan baik melalui pengawasan yang teratur dan kontinyu. Bila kondisi perairan kurang baik, seperti ombak yang keras, angin serta suasana perairan yang banyak dipengaruhi kondisi musim (hujan/kemarau), perlu pengawasan 2-3 hari sekali.

8. Pemanenan

Pemanenan dapat dilakukan bila rumput laut telah mencapai berat tertentu, yakni sekitar empat kali berat awal (waktu pemeliharaan 1.5 – 4 bulan). Cepat tidaknya pemanenan tergantung metode dan perawatan yang dilakukan setelah bibit ditanam.

9. Pengeringan hasil panen

Penanganan pasca panen, termasuk pengeringan yang tepat sangat perlu, mengingat pengaruh langsungnya terhadap mutu dan harga penjualan di pasar.

Budidaya rumput laut di tambak merupakan salah satu cara pemanfaatan lahan untuk memenuhi permintaan rumput laut yang semakin meningkat, terutama untuk rumput laut jenis Gracillaria sp. Budidaya rumput laut di tambak memiliki lebih banyak keunggulan daripada budidaya di perairan pantai (laut). Keuntungan itu antara lain : tanaman rumput laut agak terlindungi dari pengaruh lingkungan yang kurang sesuai, serta juga memungkinkan untuk dilakukan pemupukan, termasuk kemudian mengontrol kualitas air, khususnya salinitas.



Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam budidaya rumput laut di tambak yakni :

                        1. Pemilihan lokasi

Lokasi untuk budidaya rumput laut di tambak harus memenuhi beberapa persyaratan, dimana persyaratan yang harus dipenuhi hampir sama dengan tambak untuk budidaya udang. Syarat-syarat tersebut seperti :

                        a. Gelombang dalam tambak (akibat pengaruh angin) tidak terlalu besar
                         
                        b. Areal pertambakan sebaiknya melandai
                        c. Pasang surut yang baik berkisar antara 1.5-2.5 m.
                         
                        d. Tersedia air tawar untuk mengatur salinitas
                         
                        e. Kualitas air yang dibutuhkan dengan salinitas berkisar antara 12-30 permil, dengan

                        kadar ideal 20-25 permil; suhu berkisar 18-30oC dengan suhu optimum 20-25oC; pH berkisar 6-9 dengan kisaran optimum 6.8-8.2; oksigen berkisar 3-8 ppm. Selain itu, air tidak mengandung atau membawa lumpu.

                        f. Dekat dengan rumah penduduk (untuk akses tenaga kerja)
                        g. Aksesibilitas jalan untuk transportasi, dan kebutuhan lainnya
2. Sistem distribusi air

Sistem distribusi yang baik sangat diperlukan untuk dapat mengatur kualitas air, khususnya melalui penggantian air yang teratur dan berulang-ulang.

3. Konstruksi tambak

Konstruksi tambak yang dibangun harus dapat menjawab kebutuhan untuk kegiatan budidaya yang dilakukan. Hal yang perlu diperhatikan terkait konstruksi tambak adalah bentuk tambak, pematang, pintu air, dan juga saluran air.

4. Persiapan penanaman

Sebelum dilakukan penanaman, tanah dasar terlebih dahulu dinaikkan ke pematang. Setelah kering, tanah kemudian dimasukkan lagi. Untuk mempercepat pertumbuhan Gracillaria sp, tanah dapat dipupuk dengan menggunakan urea tiga kg per hektar, atau 1-2 ton pupuk kandang per hektar. Sedang untuk bibit yang digunakan dapat diperoleh dari maupun usaha budidaya.



5. Penanaman bibit

Penanaman bibit mengunakan broadcast method, dimana bibit tanaman ditebar di seluruh bagian tambak. Bibit yang ditebar adalah bagian thallus yang masih muda, yang diperoleh dengan jalan membuang bagian-bagian pangkalnya. Sedang untuk bagian ujungnya dapat ditebar ke dalam tambak, karena bibit yang berasal dari bagian ujung lebih baik daripada bagian pangkalnya.

6. Perawatan selama pemeliharaan

Perawatan pada budidaya rumput laut di tambak hampir sama dengan budidaya di laut. Perlu juga diperhatikan kondisi air, dan hama dan gulma yang menyerang seperti lumut dari jenis Enteromorpha in Limnea glabra Muller yang biasanya menyerang dengan membelit rumput laut, sehingga memperlambat pertumbuhan rumput laut.

7. Pemanenan

Rumput laut biasanya dapat dipanen bila usia pemeliharaan sudah mencapai 45-60 hari (sekitar 2 bulan) dengan berat biasanya berkisar antara 500-600 gram. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa pemanenan juga dapat dilakukan setiap tujuh hari sekali. Untuk penanganan pasca panen hampir sama dengan yang telah dijelaskan pada budidaya rumput laut di perairan pantai atau laut

Selengkapnya..

Prospek Pasar International Rumput Laut


Sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau mencapai 17,504 buah dan panjang pantai yang mencapai 81,000 km, Indonesia memiliki peluang dan potensi budidaya komoditi laut yang sangat besar untuk dikembangkan. Luas potensi budidaya laut diperkirakan mencapai 26 juta ha, dan kurang lebih dua juta ha diantaranya sangat potensial untuk pengembangan rumput laut dengan potensi produksi rumput laut kering rata-rata 16 ton per Ha. Berdasarkan data DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) RI tahun 2008, apabila seluruh lahan dapat dimanfaatkan maka akan diperoleh kurang lebih 32 juta ton per tahun. Apabila harga rumput laut sebesar Rp 4.5 juta per ton, maka penerimaan yang diperoleh berkisar Rp 144 triliun per tahun. Potensi rumput laut Indonesia dapat menjadi salah satu sumber pemasukan bagi devisa negara, dan juga mampu menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor rumput laut kering terbesar dunia.
Saat ini terdapat sekitar 782 jenis rumput laut yang hidup di perairan Indonesia. Jumlah tersebut terdiri dari 196 algae hijau, 134 algae coklat, dan 452 algae merah. Sebagai penyedia bahan baku industri, rumput laut memiliki turunan yang sangat beragam seperti untuk bahan makanan (dodol, minuman, kembang gula, dan lain-lain), kosmetik, dan juga untuk bahan obat-obatan. Jenis yang banyak dikembangkan dan banyak diminati pasar adalah jenis Euchema spinosum, Euchema cottonii dan Gracilaria sp.
Rumput laut menjadi salah satu komoditas unggulan dalam program revitalisasi perikanan disamping udang dan tuna. Ada beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan dan juga keunggulannya, diantaranya : peluang pasar ekspor yang terbuka luas, harga relatif stabil, juga belum ada batasan atau kuota perdagangan bagi rumput laut; teknologi pembudidayaannya sederhana, sehingga mudah dikuasai; siklus pembudidayaannya relatif singkat, sehingga cepat memberikan keuntungan; kebutuhan modal relatif kecil; merupakan komoditas yang tidak tergantikan, karena tidak ada produk sintetisnya; usaha pembudidayaan rumput laut tergolong usaha yang padat karya, sehingga mampu menyerap tenaga kerja.
Permintaan rumput laut meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan industri berbasis rumput laut, serta kecenderungan masyarakat dunia untuk kembali kepada produk-produk hasil alam. Diperkirakan, dalam kurun waktu lima tahun kedepan kebutuhan produk olahan rumput laut terus meningkat. Berdasarkan kecenderungan ekspor dan impor produk olahan rumput laut selama periode 1999-2004. Anggadiredja et. al (2006) memperkirakan pasar dunia produk olahan rumput laut meningkat sekitar 10 persen setiap tahun untuk karaginan semirefine (SRC), agar, dan alginat untuk industri (industrial grade). Adapun alginat untuk makanan (food grade) meningkat sebesar 7.5 persen dan karaginan refine sebesar lima persen.
Selain itu, Anggadiredja et. al (2006) juga mengestimasi kebutuhan bahan baku rumput laut penghasil karaginan pada tahun 2010 sebesar 322.500 ton yang terdiri dari Euchema sp. sebesar 274.100 ton dan jenis selain Eucheuma sp. sebesar 48.400 ton. Asumsi yang digunakan untuk mengestimasi kebutuhan pasar tersebut adalah 25 persen karaginan diekstrak dari bahan baku Eucheuma sp dalam skala industri dan 15 persen dari kebutuhan bahan baku karaginan diperoleh dari jenis rumput laut selain Eucheuma sp. Selain itu, asumsi yang digunakan juga berdasarkan perkiraan kebutuhan pasar dunia produk olahan rumput laut, khususnya karaginan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pasar rumput laut dunia masih sangat besar, baik untuk pasar bahan baku mentah (raw seaweeds) ataupun untuk produk olahannya. Indonesia dengan potensi besar seharusnya dapat memanfaatkan peluang tersebut untuk peningkatan penerimaan dan devisa negara yang lebih besar.
Peningkatan permintaan rumput laut dunia juga dapat dilihat dari peningkatan volume impor yang dilakukan oleh negara-negara importir. Jepang merupakan negara importir terbesar rumput laut dunia, diikuti oleh China pada posisi ke-dua, dan United States of America (USA) pada posisi ke-tiga. Selama kurun waktu 1999 hingga 2006, ketiga negara tersebut mengimpor 55.66 persen dari seluruh impor dunia, sesuai dengan data yang diperoleh dari FAO (Food and Agriculture Organization). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ketiga negara tersebut memiliki posisi penting bagi setiap eksportir dunia. Apabila suatu negara memiliki pangsa pasar yang baik di negara importir utama, maka dapat dikatakan



bahwa negara tersebut memiliki daya saing di pasar internasional rumput laut. Selengkapnya data importir terbesar dunia dapat dilihat pada Lampiran 1.
Seiring dengan peningkatan permintaan dunia yang semakin besar, produksi rumput laut dunia juga mengalami peningkatan yang cukup baik setiap tahunnya. Beberapa negara produsen mulai bersaing untuk dapat memproduksi rumput laut dengan kuantitas yang besar dan kualitas terbaik pula. Berdasarkan data tahun 1999 hingga 2007 yang diperoleh dari FAO (Food and Agriculture Organization), China memproduksi rata-rata 58.14 persen produksi rumput laut dunia, sekaligus menjadikan China sebagai produsen utama rumput laut dunia. Kemudian diikuti oleh Philippina dengan rata-rata produksi 10.57 persen. Indonesia berada pada posisi ketiga dengan rata-rata produksi 5.43 persen dibandingkan dengan produksi rumput laut dunia. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2 yang disusun berdasarkan volume produksi dalam satuan ton.
Pada Lampiran 2 dapat diperhatikan bahwa produksi rumput laut Indonesia pada tahun 2006 telah mencapai 1,174,996 ton, dan meningkat menjadi 1,733,705 ton pada tahun 2007. Peningkatan produksi tersebut memberikan kontribusi yang besar dalam perbaikan posisi Indonesia dalam perdagangan internasional rumput laut. Hal ini juga menjadi salah satu indikator adanya perbaikan pola produksi rumput laut dalam negeri melalui program revitalisasi perikanan yang dicanangkan oleh pemerintah. Pemerintah juga menargetkan pencapaian 1,900,000 ton produksi rumput laut pada tahun 2009 yang akan ditempuh dengan pola pengembangan kawasan dengan komoditas Euchema sp. dan Gracilaria sp. Luas lahan pengembangan yang diperlukan sampai tahun 2009 adalah sekitar 25,000 ha, yakni 10,000 ha untuk Gracilaria sp. dan 15,000 ha untuk Euchema sp. Sejak tahun 2002 hingga tahun 2007, produksi rata-rata rumput laut Indonesia mengalami peningkatan 27.97 persen. Melihat potensi ini, Indonesia melalui DKP mempunyai misi untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen terbesar (utama) rumput laut dunia mulai tahun 2009.
Pada sisi ekspor, Indonesia menjadi eksportir kedua terbesar setelah China apabila diurutkan berdasarkan volume ekspor tahun 1999-2007, sesuai dengan data yang diperoleh dari FAO. Akan tetapi sebagian besar ekspor rumput laut Indonesia dalam bentuk gelondongan kering (raw seaweeds), sedangkan bentuk



produk olahan seperti agar-agar, karaginan dan alinate masih harus diimpor. Sehingga nilai tambah dari pengolahan rumput laut tidak diperoleh, melainkan menjadi perolehan yang cukup besar bagi negara tujuan ekspor rumput laut kering tersebut. Kondisi tersebut sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu bersaing dalam industri pengolahan rumput laut. Selengkapnya data volume ekspor dan impor dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan Ekspor-Impor Rumput Laut Indonesia (dalam ton)
Tahun
Ekspor (X)
% Δ
Impor (M)
% Δ
Rasio M/X (%)
1999
25,084
-
258
-
1.03
2000
23,074
-8.01
216
-16.28
0.94
2001
27,874
20.80
246
13.89
0.88
2002
28,559
2.46
383
55.69
1.34
2003
40,162
40.63
339
-11.49
0.84
2004
51,010
27.01
497
46.61
0.97
2005
69,226
35.71
279
-43.86
0.40
2006
95,588
38.08
323
15.77
0.34

Sumber : FAO, 2008
Δ = Perubahan dengan tahun sebelumnya (dalam persen)
Pada Tabel 1 di atas diketahui bahwa dalam kurun waktu 1999 hingga 2006, ekspor Indonesia cenderung meningkat dengan rata-rata peningkatan 22.38 persen per tahun, walau pada tahun 2000 sempat mengalami penurunan ekspor sebesar 2,010 ton. Perkembangan volume ekspor rumput laut yang demikian tinggi mencerminkan adanya peluang dan demand yang semakin besar di pasar internasional terhadap rumput laut Indonesia. Kondisi ini seharusnya dapat menunjukkan bahwa Indonesia memiliki daya saing yang semakin kompetitif di pasar internasional.
Indonesia masih belum berkembang pada industri pengolahan rumput laut. Oleh karena itu, impor umumnya dilakukan dalam bentuk olahan rumput laut, dan ada juga impor untuk jenis rumput laut yang tidak ditemukan di perairan. Volume impor rumput laut mengalami fluktuatif dan cenderung mengalami penurunan volume. Apabila dibandingkan dengan volume ekspor, rasio impor terhadap ekspor relatif menurun, artinya dalam perkembangannya impor tidak terlalu berpengaruh besar terhadap ekspor Indonesia. Hal tersebut juga dapat



menunjukkan Indonesia sudah mulai memenuhi permintaan dalam negeri dalam bentuk olahan rumput laut.
Indonesia dengan potensi perikanan yang sangat besar khususnya untuk komoditas rumput laut berpeluang menjadi salah satu yang terbesar sebagai produsen rumput laut, akan tetapi Indonesia juga harus mempunyai kemampuan dalam bersaing baik dari segi harga, kualitas, dan juga kebijakan-kebijakan perdagangan, dan kemampuan dalam manajemen produksi rumput laut nasional. Dari argumentasi tersebut, dapat dilihat bahwa kebutuhan untuk meningkatkan bisnis rumput laut masih sangat terbuka dan potensial, selain dari produksi nasional yang semakin baik juga permintaan yang semakin besar.
Globalisasi ekonomi memberikan pengaruh dan tantangan yang semakin besar terhadap pertanian atau agribisnis di seluruh dunia. Dewasa ini, agribisnis tidak hanya membutuhkan kemampuan untuk dapat bersaing di pasar lokal, tetapi juga harus mampu berkompetisi di pasar luar, juga memerlukan pengembangan strategi baru untuk dapat mempengaruhi konsumen baru di pasar yan baru pula. Informasi dan pengetahuan mengenai kemampuan bersaing atau daya saing, serta keunggulan komparatif juga semakin diperlukan, baik oleh manager agribisnis, perencana strategi (strategic planners), pemerintah, pembuat keputusan, dan sebagainya. Informasi tersebut juga mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi masyarakat serta bisnis atau usahanya dalam agribisnis. Pada sisi perusahan, juga sangat perlu dan harus memperhatikan hal tersebut. Oleh karena itu, sangatlah diperlukan suatu kajian ataupun penelitian yang dapat membantu untuk mengetahui posisi daya saing suatu komoditi ekspor, termasuk juga rumput laut di pasar internasional.
Perdagangan internasional mengharuskan setiap negara memiliki spesialisasi dan juga kemampuan untuk dapat bersaing memperebutkan pasar yang ada. Penguasaan pasar oleh suatu negara dapat menjadi suatu ukuran kemampuan bersaing suatu negara untuk komoditi tertentu. Berdasarkan data-data dan informasi yang telah dipaparkan, sangatlah diperlukan sebuah penelitian mengenai besar penguasaan pasar yang dimiliki oleh Indonesia di negara tujuan ekspor. Penguasaan pangsa pasar akan menentukan posisi daya saing ekspor rumput laut Indonesia di pasar internasional. Oleh karena itu, suatu negara akan



sangat memerlukan suatu informasi yang dapat menunjukkan posisi daya saing suatu komoditas ekspor tertentu, dan juga dapat mengetahui faktor-faktor apa yang mungkin mempengaruhinya. Untuk itulah penelitian ini disusun supaya dapat menjadi informasi yang penting bagi input penyusunan kebijakan dalam industri rumput laut Indonesia.


Selengkapnya..

Rabu, 21 November 2012

Rumput Laut

      Secara Botani, yang dimaksud sebagai rumput laut adalah lamun, sekelompok tumbuhan sejati anggota kelompok monokotil yang telah beradaptasi dengan air laut, bahkan tergantung pada lingkungan ini. Lamun kurang berarti secara ekonomi bagi manusia, tetapi padang lamun menjadi tempat hidup yang disukai berbagai penghuni perairan laut dangkal di daerah tropika. Rumput laut merupakan komoditi hasil laut yang penting dan sangat potensial untuk dikembangkan di wilayah Indonesia. Dari hasil survey yang dilakukan Seafarming Development bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Perikanan (BBL Lampung) telah ditentukan 21 Provinsi dengan luas areal 25.700 hektar yang potensil untuk dibudidayakan rumput laut. Dari 21 Provinsi tersebut yang memiliki luas areal potensial paling besar adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dengan masing-masing luas lahan potensial sebesar 6000 hektar.

Selengkapnya..

E-Book Pupuler